“ If you think technology can solve our voting problems, then you don’t understand the problems and you don’t understand the technology” (from Rebecca Mercuri)
Ketergesaan dalam mengeluarkan kebijakan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak, atau lebih tepatnya 252.370.792 rakyat Indonesia, adalah praktik pengambilan keputusan yang sembrono. Termasuk pula kertergesaan dalam menentukan apakah bangsa ini akan menggunakan sistem electronic voting (e-voting) dalam Pemilu Presiden. Untuk sebuah safety-critical system dengan tingkat resiko yang sangat tinggi seperti e-voting, ketergesaan adalah niscaya kehancuran. Berikut adalah sembilan pemikiran, terbagi dalam tiga tulisan, yang harus dilakukan Indonesia sebelum memutuskan untuk menggunakan e-voting [1].
REQUIREMENT MAPPING – adalah langkah pemetaan kebutuhan Pemilu Presiden Indonesia terhadap potensi perbaikan yang ditawarkan oleh e-voting. Ini adalah inisiasi pemahaman atas masalah-masalah yang menggelayuti Pemilu Presiden Indonesia, argumen rasional munculnya wacana perubahan sistem pemilihan. Kegagalan identifikasi masalah Pemilu Presiden Indonesia memungkinkan kesalahan pengambilan keputusan yang dapat berakibat pada kegagalan solusi, inefisiensi, kekacauan administratif, hingga tidak terakomodirnya landasan Pemiluluber jurdil. Harus disadari dan disepakati sejak awal bahwa e-voting bukanlah tongkat sihir yang dapat memperbaiki sistem pemilihan di Indonesia dalam satu helaan napas; bahkan e-voting bisa jadi bukanlah solusi yang selama ini kita cari. Masalah-masalah Pemilu Presiden mungkin saja dapat terselesaikan dengan perbaikan sistem administrasi, pengetatan pengawasan, atau penguatan landasan hukum dan regulasi; tanpa harus melibatkan teknologi dan paradigma demokrasi baru seperti e-voting. Untuk itu, pemetaan kebutuhan Pemilu Presiden terhadap potensi e-voting adalah keharusan.
INFRASTRUCTURE READINESS INDEXING – merujuk pada proses kajian dan pengukuran kesiapan infrastruktur yang diperlukan untuk menerapkan e-voting. Kesiapan infrastruktur termasuk, namun tidak boleh dipersempit menjadi hanya, bahasan mengenai ketersediaan jaringan informasi dan komunikasi, kesiapan infrastruktur teknologi, dan efektifitas organisasi penyelenggara e-voting. Hal lain yang sering terabaikan adalah kesiapan industri nasional terkait pengadaan, penyediaan dan pengembangan sistem e-voting yang akan digunakan dalam Pemilu Presiden Indonesia. Sistem pemilu elektronik Indonesia tidak boleh diserahkan kepada pihak pengembang swasta (konsultan teknologi) untuk alasan-alasan antara lain:
(1)menjaga kedaulatan demokrasi – memberikan mandat kepada (ed. terlebih lagi) pengembang swasta near-monopolist, seperti yang telah banyak terjadi, berarti mengebiri azas luber jurdil demi alasan kenyamanan dan efisiensi yang belum terbukti;
(2)memastikan independensi pemerintah dan lembaga penyelenggara pemilu (KPU) – harus disadari bahwa tidak banyak pihak, if any, dalam jajaran pemerintah yang memiliki adequate understanding tentang teknologi untuk pemilu. Situasi ini dapat berdampak pada kesalahan pengambilan keputusan saat pengembangan sistem oleh pihak swasta, terutama berkaitan dengan translasi proses demokrasi menjadi spesifikasi teknis. Lebih jauh, hal ini juga berakibat pada ketergantungan para penyelenggara pemilu pada apapun solusi teknis yang ditawarkan pihak konsultan; artinya, kemudi demokrasi tidak lagi berada di tangan pemerintah, tapi di pihak swasta;
(3)memastikan keberlanjutan teknologi yang digunakan – banyak orang belum belajar dari kegagalan penerapan e-voting di Irlandia, Belanda dan Jerman, bahwa memberikan mandat pengembangan sistem e-voting kepada pihak swasta berarti komersialisasi sistem publik, i.e. menisbikan transparansi dan ketersediaan informasi publik (through embracing commercial law and regulations), memasung keterlibatan publik dalam proses pengembangan sistem, mengebiri mekanismepublic assessment and review yang pada akhirnya dapat menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem, penyelenggara, dan hasil pemilu.
SOCIO–TECH GAP EVALUATION AND E-VOTING READINESS INDEXING –adalah langkah evaluasi dan pengukuran kesiapan masyarakat dalam mengadopsi paradigma dan teknologi demokrasi baru. Jika anda masih berpikir bahwa menerapkan e-voting hanya berarti mengganti surat-suara kertas menjadi surat-suara elektronik, anda harus berpikir ulang dengan lebih cermat. Mengubah paradigma demokrasi berarti mengubah pola, kultur, tradisi, struktur, dan proses demokrasi. Kampanye tradisional tidak akan lagi efektif dan akan diganti dengan kampanye elektronik, contohnya. Sudahkah tersedia infrastruktur yang memadai untuk: mencegah dan menangani black campaigns, memastikan bahwa informasi pemilu yang tersebar adalah valid, meyakinkan bahwa disputes tentang transaksi elektronik atas proses dan/atau hasil pemilu dapat terselesaikan melalui ketersediaan perangkat aturan dan kebijakan yang efektif, menghindari kesalahan prosedural akibat tingkat literasi dijital masyarakat yang masih rendah, dan ratusan aspek terkait lainnya?
Pertanyaan yang lebih mendasar adalah: “Sudahkah kita siap untuk e-voting?“.
Bersambung.
[1] M. Hapsara, “E-Voting Indonesia: A safety-critical-systems model towards standard and framework for Indonesia’s presidential election,” in International Conference on Information Technology, 2013, pp. 81-86.