E-VOTING INDONESIA: Transparansi, Yes! Komersialisasi, No!

Dalam artikel sebelumnya, kami mengusulkan penggunaan pendekatan security by design untuk penerapan e-voting di Indonesia. Hal ini tentu saja bukan tanpa tantangan, terutama dalam mengedepankan aspek transparansi. Dibutuhkan lebih dari sekedar ketersediaan teknologi untuk memastikan pendekatan tersebut terlaksana. Kesiapan payung hukum, ketersediaan infrastuktur, kesiapan masyarakat, efektivitas mekanisme kontrol dan evaluasi, hingga peningkatan kesadaran publik adalah beberapa dari banyak hal lain yang dibutuhkan. Berikut adalah beberapa hal yang menurut kami (Hapsara, 2011) patut dipertimbangkan dalam menggunakan pendekatan Security by Design.

Protokol dari sistem e-voting yang diajukan harus dipublikasi.

Protokol menentukan cara sebuah sistem berkomunikasi dan bertukar data dalam format dijital dengan sistem lain. Dalam kerangka e-voting, protokol disandarkan pada sekumpulan aturan pemilihan, yang didefinisikan oleh sekumpulan pasal hukum tentang pemilihan, mengenai bagaimana sebuah proses pemilihan seharusnya dilaksanakan, i.e. bagaimana pemilih seharusnya memilih, bagaimana suara pemilih dipindahkan ke ballot, bagaimana data suara seharusnya dihitung dan ditampilkan, dan lain-lain. Protokol dibangun pada fase perancangan sistem. Penekanan transparansi melalui Security by Design dalam hal ini berarti bahwa protokol dari sistem e-voting yang diajukan harus dipublikasi untuk diobservasi dan dinilai oleh publik.

Salah satu cara untuk mencegah ambiguity dan menghasilkan penilaian publik yang objektif adalah dengan menghadirkan protokol tersebut dalam model formal matematis. Para peneliti di seluruh dunia telah menggunakan pendekatan ini untuk memodelkan dan memverifikasi barbagai macam skenario e-voting dengan memperhatikan requirements sistem-nya (Cansell, Gibson, & Mery, 2007; Meng, 2008, 2009; Villafiorita, Weldemariam, & Tiella, 2009; Weldemariam, Kemmerer, & Villafiorita, 2009). Disadari bahwa agar dapat dikatakan telah terverifikasi secara menyeluruh, sistem e-voting yang diajukan harus diuji dalam kerangka, sedikitnya,fairness, eligibility, privacy, receipt-freeness, coercion-resistance, dan verifiability. Ini adalah pekerjaan yang relatif banyak dan memakan waktu. Namun harus diyakini bahwa untuk sebuah Safety Critical System seperti e-voting, hal ini adalah keniscayaan dan tidak akan sia-sia.

Sistem e-voting yang diajukan haruslah berbasis open-source dan open-architecture.

Memperlakukan sistem e-voting seperti sebuah piranti lunak komersial, atau memperlakukannya selayaknya sebuah proyek rahasia tentunya tidak akan membantu tercapainya tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi. Piranti lunak komersial cenderung berusaha menghindari penilaian publik dan eksposur terhadap kelemahan sistem mereka untuk alasan-alasan, seperti: popularitas, reputasi perusahaan pembuatnya, pencitraan merek, dan sebagainya. Sebagai hasil, source code disembunyikan, arsitektur sistem dirahasiakan, uji dan penilaian dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dan tersedia sangat sedikit dokumentasi tentang piranti tersebut. Sebagai contoh, tercatat bahwa alasan utama dari kegagalan penerapane-voting di Irlandia adalah karena Pemerintah Irlandia memberikan proyek pembangunan sistem e-voting mereka kepada perusahaan swasta yang memperlakukan e-voting sebagaimana sebuah proyek komersial dan rahasia. Perusahaan tersebut gagal pula dalam menyediakan dokumentasi yang memadai, bahkan source code dari piranti mereka tidak boleh disebarluaskan pada saat evaluasi (McGaley & Gibson, 2003).

Dengan demikian, transparansi disini seharusnya dapat dicapai dengan pemanfaatan piranti berbasis open-source dan open-architecture. Sistem open-source memastikan bahwa uji dan penilaian dapat dilakukan secara publik dan independen. Selain itu, sistem ini juga dapat memastikan bahwa suara yang telah diberikan oleh pemilih akan selalu berada dibawah pengawasan publik, karena sistem yang transparan; dan bahwa potensi penyelewengan dan penyalahgunaan data dapat segera diketahui.

Sistem e-voting yang diajukan harus menghindari over-complexity, dan fungsi-fungsi enkripsi keamanan harus diketahui publik.

Sebuah sistem e-voting harus dibuat sesederhana mungkin. Para perancang harus menghindari penggunaan algoritma yang terlalu rumit dan harus mendasarkan rancangan mereka atas arsitektur sistem yang sederhana. Semakin rumit sebuah sistem, semakin sulit untuk diuji dan dinilai, yang pada akhirnya akan mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat. Hal ini berlaku pula untuk fungsi-fungsi enkripsi. Bahkan, jika memang penggunaan algoritma enkripsi yang rumit tidak dapat dielakkan, fungsi-fungsi tersebut harus tetap dipublikasi agar masyarakat mengetahui.

DAFTAR PUSTAKA

Cansell, D., Gibson, J. P., & Mery, D. (2007). Formal Verification of Tamper-Evident Storage for E-Voting.

Hapsara, M. (2011). Imposing Transparency in Indonesia’s E-Voting System through Security by Design. Paper presented at the E-Indonesia Initiative, Bandung, Indonesia.

McGaley, M., & Gibson, J. P. (2003). Electronic Voting: A Safety Critical System.

Meng, B. (2008). Formal Analysis of Key Properties in the Internet Voting Protocol using Applied Pi Calculus. Information Technology Journal, 1-8.

Meng, B. (2009). A Formal Logic Framework for Receipt-Freeness in Internet Voting Protocol. Journal of Computers, 4(3), 184-192.

Villafiorita, A., Weldemariam, K., & Tiella, R. (2009). Development, Formal Verification, and Evaluation of an E-Voting System with VVPAT. IEEE Transactions on Information Forensics and Security, 4(4), 651-661.

Weldemariam, K., Kemmerer, R. A., & Villafiorita, A. (2009). Formal Analysis of Attacks for E-Voting System.

Indonesia Not Ready to Use E-Voting in 2014 Election

Indonesia Not Ready to Use E-Voting in 2014 Election  
FRIDAY, 26 APRIL 2013

UII, YOGYAKARTA – The opinion suggesting Indonesia to use E-voting during next 2014 election is still in debate. The system is considered not safe since it has some flaws which can be exploited by irresponsible people.

“E-voting weakness can be manipulated by some people as their interest which can disturb the process and result of the voting itself”, as said by Manik Hapsara, Ph.D., lecturer from Informatics Engineering, Faculty of Industrial Technology UII on Friday (26/4).

He said the failure to implement e-voting system during election will damage public trust to the voting result. “If that happen, the government may decide to organize re-election. Of course, it waste democracy budget and certainly affect state affair”, he stated.

Even though, Manik also admitted that there is some advantages if e-voting successfully implemented such as voting count will a lot of easier so the result can be obtained faster, more secrecy since encrypted, and more practical by using touch screen.

“The prospect to utilize this system is still bright, but it is not easy to implement it here. Researcher even stated it can be the first secured system in the world”, he added.

In Indonesia, e-voting system has been successfully implemented in some region such as Pandeglang, Banten, and Jembrana. But, the internet connection system to transfer the voting data is not yet fully secured and has many loops which can threaten the voting credibility. Manik afraid some irresponsible people who capable to attack the system through spoofing, virus, and denial of service.

Manik mentioned e-voting implementation in other countries, for example in the US, Hawaii, Venezuela, Philippine, and India. It still has problems, such as in hardware, the system itself, and vote. The problem may be caused by bug in the system or hacker attack which penetrated system security.

In the end, he concluded “Indonesia is not ready to use this system. We cannot risk our democracy, political economy life, and law to an unreliable system”.  

 

Link: http://www.uii.ac.id/content/view/2293/257/ 

Skenario Hacking Sistem E-Voting – part 02: Attacks of the Trojan

Dalam tulisan sebelumnya, telah didiskusikan kemungkinan serangan atas sistem e-voting menggunakan skenario Denial-of-Service (DoS) (Hapsara, 2011d). Sebuah serangan bergenre DoS yang terdistribusi di ribuan mesin dan yang dikoordinasi untuk menyerang sebuah target primer secara simultan dapat digunakan untuk melumpuhkan bahkan sebuah sistem yang sangat rigid. Jika dalam tataran bisnis virtual, baik e-banking maupun e-commerce, skenario ini menjadi salah satu concern yang menyedot banyak perhatian, maka untuk sebuah sistem yang safety-critical layaknya e-voting (Hapsara, 2011a, 2011b, 2011c), hal tersebut seharusnya menjadi parameter yang menentukan laik-tidak-nya sistem tersebut.

Lebih lanjut, skenario serangan terhadap sistem e-voting dapat pula dilakukan dengan memanfaatkan Trojan. Dalam dunia komputer, istilah Trojan merujuk pada kode program perusak yang disembunyikan dalam data atau program umum. Tidak seperti pada DoS, serangan dengan menggunakan Trojan bertujuan untuk mengambil alih kontrol atas sebuah mesin atau sistem. Setelah itu, Trojan akan mampu melakukan bentuk serangan lain yang lebih merusak, seperti: mencuri password, mengubah data, menjalankan program tertentu, dan lain-lain.

Beberapa skenario penggunaan Trojan telah dilaporkan oleh para peneliti di bidang e-voting. Weldemariam (Weldemariam, Kemmerer, & Villafiorita, 2009), antara lain, menjelaskan 4 (empat) skenario yang dapat digunakan untuk meng-ekspos sistem e-voting buatan ES&S, salah satu pabrikan sistem e-voting yang popular. Perlu diketahui bahwa ES&S menghadirkan fungsi verifikasi VVPAT (Voter-Verified Paper Audit Trail) dimana untuk setiap suara yang diberikan melalui sistem, akan dikeluarkan rekaman suara berupa kertas tercetak. Fungsi ini memberikan kesempatan kepada pemilih untuk memastikan suara yang tercatat dalam sistem adalah yang suara yang diberikan.

  • Changing the vote for an inattentive voter. Adakalanya pemilih tidak menyadari pentingnya fungsi verifikasi. Pemilih dengan karakteristik demikian biasanya melakukan proses pemberian suara secara normal dan setelah selesai tidak memeriksa apakah suara yang ia berikan telah terekam dengan baik dalam sistem. Trojan biasanya disimpan dalam sistem dan diaktivasi untuk: (1)memotong proses penyimpanan suara sesaat sebelum review suara ditampilkan dalam electronic ballot; (2)mengubah nilai suara yang telah diberikan menjadi nilai untuk kandidat lain. Skenario ini mengandalkan kecenderungan inattentive voters mengabaikan nilai suara akhir yang ditampilkan dalam electronic ballot, dan ketidaksesuaian suara pemilih dengan kertas rekaman suara tercetak. Skenario ini akan gagal jika pemilih menyadari ketidaksesuaian tersebut dan memutuskan untuk melakukan pemberian suara ulang. Jika hal ini terjadi, Trojan akan mendeteksi identitas pemilih dan menghentikan proses pengubahan nilai suara untuk sementara. Jika sebaliknya, maka nilai suara yang akan direkam adalah nilai yang telah diubah oleh Trojan. Yang demikian akan sulit untuk dideteksi apabila telah sampai pada proses perhitungan suara hingga akan sangat merugikan sebagaian kandidat. Algoritma serangan dengan skenario demikian lebih jelas digambarkan di bawah.

 Algoritma serangan menggunakan skenario changing the vote for an inattentive voter (Weldemariam, et al., 2009)

Legend: DRE (Direct Recording Electronic), RTAL (Real-Time Audit Log)

  • Changing the vote for a careful voter. Dalam skenario ini, pemilih diasumsikan melakukan proses pemberian suara normal dan mereka cukup berhati-hati dengan juga memperhatikan review yang ditampilkan dalam electronic ballot. Kelemahan yang diserang disini adalah kekurangmengertian pemilih tentang informasi yang disampaikan dalam kertas rekaman suara tercetak. Untuk itu, pengubahan nilai suara tidak dilakukan sebelum review nilai suara dalam electronic ballot melainkan sesudahnya. Ketidaksesuaian terjadi antara nilai suara yang di-review dengan kertas rekaman suara tercetak. Sama dengan yang terjadi dalam skenario sebelumnya, jika tidak perubahan nilai suara tidak terdeteksi sejak dini, maka suara tersebutlah yang akan ditabulasikan.
  • Canceling/completing the vote for a fleeing voter. Harus diakui bahwa penggunaan electronic ballot dalam proses pemungutan suara dapat menyebabkan ketidaknyamanan bagi sebagian pemilih. Hal ini dapat terjadi salah satunya akibat dipengaruhi kebiasaan dalam menggunakan paper ballot. Proses pemberian suara menggunakan electronic ballot yang berbelit-belit, keharusan untuk menunggu review nilai suara yang diberikan; menyebabkan sebagian pemilih memilih untuk tidak menyelesaikan proses pemberian suara. Pemilih yang demikian disebut sebagai fleeing voters, dan skenario ini memanfaat tipe pemilih ini. Perlu diketahui bahwa ES&S memiliki fitur alarm untuk memberitahu petugas di TPS bila seorang pemilih tidak menyelesaikan proses pemberian suaranya. Trojan dapat melakukan 2 (dua) hal disini: (1)jika pemilih memilih kandidat yang tidak diinginkan, membiarkan alarm berbunyi agar petugas TPS mengetahui proses pemberiaan suara belum selesai dan membuang suara yang belum dikonfirmasi; atau (2)jika pemilih memilih kandidat yang diinginkan, menghentikan alarm dan menyelesaikan proses pemberian suara hingga suara terekam.
  • Faking a fleeing voter to cancel a vote. Jika di skenario sebelumnya, serangan dilakukan dengan memanfaatkan fleeing voters, dalam skenario ini Trojan “memalsukan” fleeing voters. Pemilih yang memilih kandidat yang tidak diinginkan dan  telah melakukan pemberian suara normal akan disodorkan tampilan dalam electronic ballot yang menunjukkan bahwa seolah-olah suara mereka telah terekam. Sesungguhnya Trojan menahan suara pemilih tersebut hingga setelah pemilih meninggalkan TPS, Trojan akan mengaktivasi alarm. Petugas TPS akan menyangka bahwa pemilih tersebut adalah fleeing voter dan membuang suara yang belum dikonfirmasi tersebut. Algoritma untuk skenario ini digambarkan di bawah.

Algoritma serangan menggunakan skenario faking a fleeing voter to cancel a vote (Weldemariam, et al., 2009)

Empat buah skenario tersebut hanyalah sedikit dari puluhan skenario serangan terhadap sistem e-voting dengan memanfaatkan Trojan. Belum lagi bentuk-bentuk serangan yang berbasiskan perangkat keras yang telah banyak disenarai oleh para ahli e-voting sedunia. Pertanyaannya adalah, “Apakah kita masih berpikir bahwa penerapan e-voting akan sama mudahnya dengan penerapan e-banking ataupun e-commerce? Ataukah kita akan melakukan assessment yang hati-hati dan menyeluruh sebelum memutuskan untuk mendukung penerapan e-voting?”.

Jawabannya ada pada diri kita masing-masing. Terbungkus rapi bersama resikonya.

Referensi

Hapsara, M. (2011a). E-Voting bukanlah E-Banking ataupun E-Commerce. E-Voting Indonesia, 2011, from https://evotingindonesia.wordpress.com/2011/03/25/e-voting-bukanlah-e-banking-commerce/

Hapsara, M. (2011b). Imposing Transparency in Indonesia’s E-Voting System through Security by Design. Paper presented at the E-Indonesia Initiative, Bandung, Indonesia.

Hapsara, M. (2011c). Should We put Our Live in the Hand of Internet Voting? E-Voting Indonesia, from https://evotingindonesia.wordpress.com/2011/04/01/should-we-put-our-live-in-the-hand-of-internet-voting/

Hapsara, M. (2011d). Skenario Hacking Sistem E-voting – part 01: Denial of Service Attack. E-Voting Indonesia, from https://evotingindonesia.wordpress.com/2011/06/03/denial-of-service-e-voting/

Weldemariam, K., Kemmerer, R. A., & Villafiorita, A. (2009). Formal Analysis of Attacks for E-Voting System.

=====================================================

Disclaimer:

Anda diijinkan untuk mengunduh, menyalin, mengutip, medistribusikan artikel ini secara cuma-cuma dengan syarat mencantumkan e-voting indonesia sebagai sumber rujukan. Untuk korespondensi hubungi:

evotingindonesia@gmail.com

Author profile:

Manik Hapsara, Ph.D. – E-Voting Indonesia (kompasianamultiply)

=====================================================